SEJARAH PERKEMBANGAN DESAIN GRAFIK
Desain grafis adalah suatu bentuk komunikasi visual yang
menggunakan gambar untuk menyampaikan informasi atau pesan seefektif mungkin.
Dalam disain grafis, teks juga dianggap gambar karena merupakan hasil abstraksi
simbol-simbol yang bisa dibunyikan. disain grafis diterapkan dalam disain
komunikasi dan fine art. Seperti jenis disain lainnya, disain grafis dapat
merujuk kepada proses pembuatan, metoda merancang, produk yang dihasilkan
(rancangan), atau pun disiplin ilmu yang digunakan (disain).
Sejarah awal
Pelacakan perjalanan sejarah desain grafis dapat ditelusuri
dari jejak peninggalan manusia dalam bentuk lambang-lambang grafis (sign &
simbol) yang berwujud gambar (pictograf) atau tulisan (ideograf). Gambar
mendahului tulisan karena gambar dianggap lebih bersifat langsung dan
ekspresif, dengan dasar acuan alam (flora, fauna,landscape dan lain-lain).
Tulisan/ aksara merupakan hasil konversi gambar, bentuk dan tata aturan
komunikasinya lebih kompleks dibandingkan gambar. Belum ada yang tahu pasti
sejak kapan manusia memulai menggunakan gambar sebagai media komunikasi.
Manusia primitif sudah menggunakan coretan gambar di dinding gua untuk kegiatan
berburu binatang. Contohnya seperti yang ditemukan di dinding gua Lascaux,
Perancis.
Lambang/ aksara sebagai alat komunikasi diawali oleh bangsa
Punesia (+ 1000 tahun SM), yang saat itu menggunakan bentuk 22 huruf. Kemudian
disempurnakan oleh bangsa Yunani (+ 400 tahun SM) antara lain dengan mengubah 5
huruf menjadi huruf hidup. Kejayaan kerajaan Romawi di abad pertama yang
berhasil menaklukkan Yunani, membawa peradaban baru dalam sejarah Barat dengan
diadaptasikannya kesusasteraan, kesenian, agama, serta alfabet Latin yang
dibawa dari Yunani. Pada awalnya bangsa Romawi menetapkan alfabet dari Yunani
tersebut menjadi 21 huruf : A, B, C, D, E, F, G, H, I, K, L, M, N, O, P, Q, R,
S, T, V, dan X, kemudian huruf Y dan Z ditambahkan dalam alfabet Latin untuk
mengakomodasi kata yang berasal dari bahasa Yunani. Tiga huruf tambahan J, U
dan W dimasukkan pada abad pertengahan sehingga jumlah keseluruhan alfabet
Latin menjadi 26.
Ketika perguruan tinggi pertama kali berdiri di Eropa pada
awal milenium kedua, buku menjadi sebuah tuntutan kebutuhan yang sangat tinggi.
Teknologi cetak belum ditemukan pada masa itu, sehingga sebuah buku harus
disalin dengan tangan. Konon untuk penyalinan sebuah buku dapat memakan waktu
berbulan-bulan. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan penyalinan berbagai buku yang
semakin meningkat serta untuk mempercepat kerja para penyalin (scribes), maka
lahirlah huruf Blackletter Script, berupa huruf kecil yang dibuat dengan bentuk
tipis-tebal dan ramping. Efisiensi dapat terpenuhi lewat bentuk huruf ini
karena ketipis-tebalannya dapat mempercepat kerja penulisan. Disamping itu,
dengan keuntungan bentuk yang indah dan ramping, huruf-huruf tersebut dapat
dituliskan dalam jumlah yang lebih banyak diatas satu halaman buku.
Era Cetak
Desain grafis berkembang pesat seiring dengan perkembangan
sejarah peradaban manusia saat ditemukan tulisan dan mesin cetak. Pada tahun
1447, Johannes Gutenberg (1398-1468) menemukan teknologi mesin cetak yang bisa
digerakkan dengan model tekanan menyerupai disain yang digunakan di Rhineland,
Jerman, untuk menghasilkan anggur. Ini adalah suatu pengembangan revolusioner
yang memungkinkan produksi buku secara massal dengan biaya rendah, yang menjadi
bagian dari ledakan informasi pada masa kebangkitan kembali Eropa.
Tahun 1450 Guterberg bekerjasama dengan pedagang dan pemodal
Johannes Fust, dibantu oleh Peter Schoffer ia mencetak “Latin Bible” atau
disebut “Guterberg Bible”, “Mararin Bible” atau “42 line Bible” yang
diselesaikanya pada tahun 1456. Temuan Gutenberg tersebut telah mendukung
perkembangan seni ilustrasi di Jerman terutama untuk hiasan buku. Pada masa itu
juga berkembang corak huruf (tipografi). Ilustrasi pada masa itu cenderung
realis dan tidak banyak icon. Seniman besarnya antara lain Lucas Cranach dengan
karyanya “Where of Babilon”.
Pada perkembangan berikutnya, Aloys Senefelder (1771-1834)
menemukan teknik cetak Lithografi. Berbeda dengan mesin cetak Guterberg yang
memanfaatkan tehnik cetak tinggi, teknik cetak lithografi menggunakan tehnik
cetak datar yang memanfaatkan prinsip saling tolak antara air dengan minyak.
Nama lithografi tersebut dari master cetak yang menggunakan media batu litho.
Tehnik ini memungkinkan untuk melakukan penggambaran secara lebih leluasa dalam
bentuk blok-blok serta ukuran besar, juga memungkinkan dilakukannya pemisahan
warna. Sehingga masa ini mendukung pesatnya perkembangan seni poster. Masa
keemasan ini disebu-sebut sebagai “The Golden Age of The Poster”.
Tokoh-tokoh seni poster tehnik lithogafi (1836-1893) antara
lain Jules Cheret dengan karya besarnya “Eldorado: Penari Riang” (1898), “La
Loie Fuller: Penari Fuller” (1897), “Quinquina Dubonnet” (1896), “Enu des
Sirenes” (1899). Tokoh-tokoh lainya antara lain Henri de Toulouse Lautrec dan
Eugene Grasset.
Perkembangan Lebih Lanjut
Berikut ini merupakan peristiwa-peristiwa penting di dunia
yang berperan dalam sejarah perkembangan desain grafis.
1851, The Great Exhibition
Diselenggarakan di taman Hyde London antara bulan Mei hingga
Oktober 1851, pada saat Revolusi industri. Pameran besar ini menonjolkan budaya
dan industri serta merayakan teknologi industri dan disain. Pameran digelar
dalam bangunan berupa struktur besi-tuang dan kaca, sering disebut juga dengan
Istana Kristal yang dirancang oleh Joseph Paxton.
1892, Aristide Bruant, Toulouse-Lautrec
Pelukis post-Impressionist dan ilustrator art nouveau
Prancis, Henri Toulouse-Lautrec melukiskan banyak sisi Paris pada abad ke
sembilan belas dalam poster dan lukisan yang menyatakan sebuah simpati terhadap
ras manusia. Walaupun lithography ditemukan di Austria oleh Alois Senefelder
pada tahun 1796, Toulouse-Lautrec membantu tercapainya peleburan industri dan
seni.
1910, Modernisme
Modernisme terbentuk oleh urbanisasi dan industrialisasi
dari masyarakat Barat. Sebuah dogma yang menjadi nafas desain modern adalah
"Form follow Function" yang di lontarkan oleh Louis Sullivan.Symbol
terkuat dari kejayan modernisme adalah mesin yang juga diartikan sebagai masa
depan bagi para pengikutnya. Desain tanpa dekorasi lebih cocok dengan “bahasa
mesin”, sehingga karya-karya tradisi yang bersifat ornamental dan dekoratif
dianggap tidak sesuai dengan “estetika mesin”.
1916, Dadaisme
Suatu pergerakan seni dan kesusasteraan (1916-1923) yang
dikembangkan mengikuti masa Perang Dunia Pertama dan mencari untuk menemukan
suatu kenyataan asli hingga penghapusan kultur tradisional dan bentuk estetik.
Dadaisme membawa gagasan baru, arah dan bahan, tetapi dengan sedikit
keseragaman. Prinsipnya adalah ketidakrasionalan yang disengaja, sifat yang
sinis dan anarki, dan penolakan terhadap hukum keindahan.
1916, De Stijl
Gaya yang berasal dari Belanda, De Stijl adalah suatu seni
dan pergerakan disain yang dikembangkan sebuah majalah dari nama yang sama
ditemukan oleh Theo Van Doesburg. De Stijl menggunakan bentuk segi-empat kuat,
menggunakan warna-warna dasar dan menggunakan komposisi asimetris. Gambar
dibawah adalah Red and Blue Chair yang dirancang oleh Gerrit Rietveld.
The Red and Blue Chair
1918, Constructivism
Suatu pergerakan seni modern yang dimulai di Moscow pada
tahun 1920, yang ditandai oleh penggunaan metoda industri untuk menciptakan
object geometris. Constructivism Rusia berpengaruh pada pandangan moderen
melalui penggunaan huruf sans-serif berwarna merah dan hitam diatur dalam blok
asimetris.
Contoh : Model dari Menara Tatlin, suatu monumen untuk Komunis
Internasional.
1919, Bauhaus
Bauhaus dibuka pada tahun 1919 di bawah arahan arsitek
terkenal Walter Gropius. Sampai akhirnya harus ditutup pada tahun 1933, Bauhaus
memulai suatu pendekatan segar untuk mendisain mengikuti Perang Duni Pertama,
dengan suatu gaya yang dipusatkan pada fungsi bukannya hiasan.
Contoh Gedung Bauhaus
1928-1930, Gill Sans
Tipograper Eric Gill belajar pada Edward Johnston dan
memperhalus tipe huruf Underground ke dalam Gill Sans. Gill Sans adalah sebuah
jenis huruf sans serif dengan proporsi klasik dan karakteristik geometris lemah
gemulai yang memberinya suatu kemampuan beraneka ragam (great versatility).
1931, Harry Beck
Perancang grafis Harry Back ( 1903-1974) menciptakan peta
bawah tanah London (London Underground Map) pada tahun 1931. Sebuah pekerjaan
abstrak yang mengandung sedikit hubungan ke skala fisik. Beck memusatkan pada
kebutuhan pengguna dari bagaimana cara sampai dari satu stasiun ke stasiun yang
lain dan di mana harus berganti kereta.
1950s, International Style
International atau Swiss style didasarkan pada prinsip
revolusioner tahun 1920an seperti De Stijl, Bauhaus dan Neue Typography, dan
itu menjadi resmi pada tahun 1950an. Grid, prinsip matematika, sedikit dekorasi
dan jenis huruf sans serif menjadi aturan sebagaimana tipografi ditingkatkan
untuk lebih menunjukkan fungsi universal daripada ungkapan pribadi.
Contoh : Sampul buku dari Taschen
1951, Helvetica
Diciptakan oleh Max Miedinger seorang perancang dari Swiss,
Helvetica adalah salah satu tipe huruf yang paling populer dan terkenal di
dunia. Berpenampilan bersih, tanpa garis-garis tak masuk akal berdasarkan pada
huruf Akzidenz-Grotesk. Pada awalnya disebut Hass Grostesk, nama tersebut
diubah menjadi Helvetica pada tahun 1960. Helvetica keluarga mempunyai 34 model
ketebalan dan Neue Helvetica mempunyai 51 model.
Contoh : Sampul buku Helvetica
1960s, Psychedelia and Pop Art
Kultur yang populer pada tahun 1960an seperti musik, seni,
disain dan literatur menjadi lebih mudah diakses dan merefleksikan kehidupan
sehari-hari. Dengan sengaja dan jelas, Pop Art berkembang sebagai sebuah reaksi
perlawanan terhadap seni abstrak. Gambar dibawah adalah sebuah poster karya
Milton Glaser yang menonjolkan gaya siluet Marcel Duchamp dikombinasikan dengan
kaligrafi melingkar. Di cetak lebih dari 6 juta eksemplar.
Contoh : Poster karya Milton Glaser
1984, Émigré
Majalah disain grafis Amerika, Émigré adalah publikasi
pertama untuk menggunakan komputer Macintosh, dan mempengaruhi perancang grafis
untuk beralih ke desktop publishing ( DTP). Majalah ini juga bertindak sebagai
suatu forum untuk eksperimen tipografi.
Contoh : Sampul Majalah Émigré
Sejarah Desain Grafis Indonesia: 1970-sekarang
Suatu hari pada pertengahan 1975, seusai acara wisuda di
aula STSRI “ASRI” di jalan Gampingan, Yogyakarta, saya berada dalam perjalanan
ke rumah makan Ayam Goreng Kalasan “Suharti” membonceng sepeda motor Honda yang
dikemudikan oleh Fadjar Sidik (1930-2004), Ketua Jurusan Seni Lukis waktu itu
(yang oleh seniman-seniman Yogyakarta dianggap sebagai Bapak Seni Lukis Modern
Indonesia). [1] “Kamu mesti ke Jakarta, Han” katanya, “Kalau sudah menguasai
Jakarta, yang lainnya lebih mudah”. Rupanya begitulah citra umum mengenai
Jakarta tahun 1970an, diakibatkan oleh politik Orde Baru yang serba
sentralistik, yang mengubah wajah Jakarta bagai magnet bagi angkatan kerja,
termasuk calon desainer grafis. Di bawah pemerintahan Soeharto, kondisi politik
yang dengan berbagai cara diupayakan stabil itu telah berakibat pada derasnya
investasi asing yang masuk, menjadi bahan bakar bagi pembangunan infrastruktur
di segala sektor, terutama di kota Jakarta.
Terlepas dari sepiring nasi hangat dengan ayam goreng lezat
yang kami nikmati sesudahnya, acara wisudanya sendiri berjalan sangat singkat,
serba dingin dan kaku, dan menegangkan. Bayangkan, mungkin baru kali itu pernah
terjadi dalam sejarah pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia, bahwa sebuah
acara wisuda perguruan tinggi (kecuali mungkin di AKABRI) dipimpin oleh seorang
petinggi militer, sementara semua pintu masuk ke kampus dijaga ketat oleh
tentara, dan hanya yang berkepentingan atau yang tidak termasuk di dalam daftar
hitam yang diijinkan masuk.
Peristiwa tersebut di atas saya alami ketika dunia seni rupa
Indonesia, terutama di STSRI “ASRI”, dan juga FSRD ITB, baru saja diguncang
oleh peristiwa yang disebut Desember Hitam, yang pecah di ujung tahun 1974, adalah
sebuah gerakan perlawanan para seniman muda yang diawali dengan protes terhadap
pemberian penghargaan pemerintah kepada lima pelukis, yang karyanya dikritisi
sebagai bercorak ragam sama (seragam) yaitu dekoratif, dan lebih mengabdi
kepada kepentingan ‘konsumtif’.
Gerakan Seni Rupa Baru (1975)
Peristiwa Desember Hitam itu adalah cikal bakal terbentuknya
Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang kelak menghantarkan dunia
seni rupa Indonesia ke pemahaman baru mengenai estetika, pengungkapan nilai dan
fungsi seni. Bagi GSRB, kesenian tidak harus dikategorikan menurut jenjang, ada
kesenian kelas wahid dan ada kesenian kelas kambing. GSRB menolak batasan
antara seni murni dan seni terap, dan semua fenomena kesenian termasuk desain
pun dianggap sederajat. Sepanjang perjalanannya (1975-1979, 1987), eksponen
GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lain FX Harsono, Syahrinur
Prinka (1947-2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto
(1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.
Pameran desain grafis pertama di Indonesia
Spirit untuk tidak lagi mempercayai penjenjangan antara seni
murni dan seni terap menghantar tiga desainer grafis mengabarkan eksistensinya
melalui sebuah pameran desain grafis di Pusat Kebudayaan Belanda “Erasmus Huis”
pada tanggal 16-24 Juni 1980, sebuah riak kecil yang mengusung misi utama
memperkenalkan profesi desainer grafis ke publik yang lebih luas. Pameran
bertajuk “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit” ini kelak tercatat
sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer
grafis Indonesia. [2]
Organisasi desainer grafis pertama di Indonesia
Pameran itu juga menjadi ajang berkumpulnya
desainer-desainer grafis masa itu yang sedang menggalang pertemuan-pertemuan
intensif di jalan Padalarang 1-A, Jakarta – kantor majalah “Visi” (d/h
“Maskulin”) dan “Sport Otak” – untuk mempersiapkan dibentuknya sebuah
organisasi yang mewadahi desainer grafis Indonesia. Organisasi ini kemudian
diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama IPGI (Ikatan Perancang
Grafis Indonesia) bersamaan dengan penyelenggaraan sebuah pameran besar
bertajuk “Grafis ‘80” di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta.
Inilah upaya terbesar desainer grafis angkatan ‘70 untuk menyatakan
eksistensinya, agar masyarakat apresiatif terhadap bidang ini. “Pameran itu
seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang bisa kita tonton dalam
pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang melekat dalam kehidupan
sehari-hari kita”. [3]
Studio-studio desain grafis pertama di Indonesia
Sepanjang tahun 1970 dan seterusnya mulai bertumbuh
perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer
grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri
pada desain non-iklan, semuanya berada di Jakarta: Vision (Karnadi Mardio),
Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, S Prinka), Citra
Indonesia (Tjahjono Abdi, Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution).
Dan pada dekade berikutnya, di Jakarta muncul antara lain Gugus Grafis (FX
Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya
Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), Headline (Sita Subijakto), BD+A (Irvan
Noe’man), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD
Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja) dan
lain-lain.
Setiap studio membawa serta kekhasannya masing-masing
sebagai akibat dari ‘ideologi’ desainernya. Misi keIndonesiaan menuntun cara
kerja Citra Indonesia dalam mengolah karya-karya desainnya. Di dalam Citra
Indonesia ada seorang tokoh budaya, SJH Damais, yang menjadi ‘kamus berjalan’
bagi pendekatan-pendekatan yang ingin diterapkan. Sementara Gugus Grafis
berupaya setia dengan ideologi GSRB-nya walau tidak seluruh nilai dan praksis seni
rupa kontemporer bisa diterapkan pada semua kesempatan yang didapat. Pada tahun
1973 ada Decenta (Design Centre Association) di Bandung, yang terlibat AD
Pirous, G Sidharta, Adrian Palar, Sunaryo, T Sutanto, Priyanto Sunarto. Saat
itu ada pertentangan antara pandangan bahwa seni itu universal dengan pandangan
seni yang digali dari bumi sendiri. Decenta menjadi tempat menggali khasanah
Indonesia yang diterapkan dalam seni (grafis, lukis, patung) dan desain
(pameran, elemen estetis, furnitur, curtain, greeting card, sampul buku).
Pendekatannya formal atau total, formal melalui olahan artefak budaya, dan
total melalui penghayatan terhadap spirit yang hidup dalam masyarakat tradisi.
Meski bukan studio desain grafis, Decenta sudah melayani pekerjaan-pekerjaan
desain grafis (walau masih sedikit).
Pada masa ini, studio mana pun ‘dituntut’ bisa mengerjakan
pekerjaan apa pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai
kepada ilustrasi sampul kaset, desainer bak superman atau superwoman. Studio
grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup. Ilustrasi menggunakan
teknik air brush, dengan gaya hyper-realism dan Pop Art menjadi trend waktu
itu, sejalan dengan perkembangan ilustrasi di dunia maju (majalah “Tempo” dan
“Zaman” adalah dua penerbitan yang mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya).
Air brush gun, pensil, kuas, cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok
Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja
desainer waktu itu.
Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis serentak dengan
perkembangan di bidang pendidikannya. Menyusul STSRI “ASRI” di Yogyakarta dan
FSRD ITB di Bandung yang sudah ada terlebih dulu, pada tahun 1976 juga dibuka
di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dan kemudian di Universitas
Trisakti pada tahun 1978.
Pameran IPGI ke-2 digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di
Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”. Ini adalah untuk pertama
kalinya – setelah 15 tahun berdiri – Dewan Kesenian Jakarta dan TIM (Taman
Ismail Marzuki) menyelenggarakan sebuah pameran seni terap, yang secara tidak
langsung merupakan pengakuan resmi otoritas kesenian atas desain grafis sebagai
seni. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta mengungkap
bahwa “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika isinya sudah diambil dan digunakan,
maka kemasan (pembungkusnya) langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame
yang terpampang di jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang
penghayatannya dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya.” [4]
Selanjutnya bersama JAGDA (Japan Graphic Designer
Association), IPGI pernah menyelenggarakan dua pameran besar, yaitu pada 9-15
Februari 1988 di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta yang dilanjutkan di
Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, dan pada tahun 1989 berturut-turut
di tiga kota: 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang
Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; 12-20 April di Yayasan
Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan 26 April-3 Mei di Kampus Institut
Seni Indonesia (d/h STSRI “ASRI”) di jalan Gampingan, Yogya.
Selama perjalanannya, desainer yang aktif menggerakkan roda
IPGI: Gauri Nasution, Hanny Kardinata (Bendahara), Karnadi Mardio (Wakil
Ketua), Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Syahrinur Prinka, Tjahjono Abdi, Wagiono
Sunarto (Ketua), Yongky Safanayong.
Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang
lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo ‘92” atau
“JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September 1992.
Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni patung, seni
grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis,
desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria
keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar. “Sejauh
ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu – khususnya melalui sebuah pameran
– belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan
dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan.
Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang
usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual,
terlalu sibuk dengan apresiasi”. [5]
IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis
Indonesia)
Pada tanggal 7 Mei 1994 IPGI menyelenggarakan kongres
pertamanya di Jakarta Design Center dimana berlangsung penggantian nama
organisasi menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia). Pada saat itu
dilakukan juga serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua:
Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri
Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain
Grafis. [6]
Seirama dengan pembangunan yang sedang berjalan dengan pesat
pada periode 90an, profesi desainer grafis pun semakin dikenal, demand
masyarakat juga meningkat, dan didorong oleh faktor teknologi yang semakin
canggih dan memudahkan (komputerisasi terjadi di masa ini), terjadilah
pertumbuhan jumlah perusahaan desain grafis, di antaranya di Jakarta: LeBoYe
(Hermawan Tanzil), MakkiMakki (Sakti Makki), Afterhours (Lans Brahmantyo),
Avigra (Ardian Elkana), di Yogyakarta: Petakumpet (M Arief Budiman) dan di
Bali: Matamera (Arief “Ayip” Budiman). Jenis pekerjaan hampir spesifik:
brand/corporate identity, annual report, company profile, marketing brochure,
packaging, calendar.
22 Januari 1998: Kurs rupiah menembus 17.000,- per dolar AS.
Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang
begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat.
Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan
perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70
persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota
bene bangkrut. Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari
hantaman krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar klien mereka
berasal dari sektor-sektor yang paling terpukul: perbankan, konstruksi dan manufaktur.
Hanya studio kecil dengan dua atau tiga orang staf saja yang bisa bertahan
karena overhead-nya kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa
memangkas drastis jumlah stafnya.
Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) berdiri
Di tengah kekosongan organisasi yang mewadahi profesi ini,
pada awal tahun 2000 Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) diwacanakan oleh 3
orang desainer yang juga pengajar desain grafis yaitu Hastjarjo B Wibowo,
Mendiola Budi Wiryawan dan Arif PSA. FDGI diresmikan bersamaan dengan
penyelenggaraan Pameran Poster “Melihat Indonesia Damai” tanggal 6-14 Juni 2003
di Bentara Budaya, Jakarta. Selanjutnya pada rapat kerja FDGI di Cibubur 11
Juli 2003 dihasilkan perubahan nama organisasi menjadi Forum Desain Grafis
Indonesia (FDGI) dengan tujuan untuk menjangkau pemangku kepentingan di luar
desainer grafis. Pada tanggal 7-11 September 2005 FDGI berhasil mengadakan
pameran poster internasional “Light of Hope for Indonesia” di arena FGDexpo
2005.
Transformasi ADGI menjadi Adgi (Indonesia Design
Professionals Association)
Pada tanggal 8 September 2005 dalam acara “Gathering and
Talk Show-It’s Graphic Designers United!” di arena FGDexpo 2005, Jakarta
Convention Center yang diselenggarakan oleh FDGI, diterbitkan Memorandum ADGI
kepada Gauri Nasution, Danton Sihombing, Hastjarjo B Wibowo dan Mendiola B
Wiryawan untuk mempersiapkan Kongres ADGI dalam waktu 6 bulan. Pada bulan
Oktober 2005 para penerima mandat membentuk Tim Revitalisasi ADGI sebanyak 16
orang yang bekerja selama 5 bulan untuk merumuskan platform “Adgi Baru”. Berdasarkan
evaluasi terhadap kinerja ADGI pada masa lalu dirumuskanlah branding platform
Adgi baru yang hadir dengan deskripsi Indonesia Design Professionals
Association. Kata Adgi menjadi nama, bukan lagi akronim (ADGI).
Kongres Nasional Adgi pertama
Pada tanggal 19 April 2006 bertempat di Ballroom Hotel Le
Meridien, Jakarta diselenggarakan Kongres Adgi dimana terpilih formasi
presidium yang terdiri dari 5 orang yaitu Andi S Boediman, Danton Sihombing,
Hastjarjo B Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo untuk mengemban tugas
memimpin Adgi selama periode 1 tahun dengan mengusung tema “Unifying Spirits”.
Pada 16-30 Agustus 2006 presidium ini berhasil menyelenggarakan pameran
“Petasan Grafis” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta dengan sub-judul
“Pameran Nasionalisme Indonesia dalam Desain Komunikasi Visual”.
Kongres Nasional Adgi kedua
Pada tanggal 19 April 2007 dilaksanakan Kongres Nasional
Adgi kedua di gedung Galeri Nasional, Jakarta. Melalui mekanisme pemungutan
suara, Danton Sihombing terpilih sebagai Ketua Umum Adgi 2007-2010. Kemudian
bersamaan dengan diselenggarakannya FGDexpo 2007 pada 8-12 Agustus 2007 Adgi
menggelar pameran poster international “One Globe One Flag”di Jakarta
Convention Center.
Dari Adgi kembali ke ADGI
Pada tanggal 9 November 2007 Adgi menyelenggarakan “Adgi
Jakarta Chapter-Member Recruitment and Gathering Night 2007 di Forbidden Citi,
Jl. Wijaya I No. 55, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada peristiwa ini
disampaikan antara lain perubahan nama asosiasi dari Adgi-Indonesia Design
Professionals Association menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia),
kembali ke nama yang disepakati pada Konggres IPGI ke I di Jakarta Design
Center tanggal 7 Mei 1994.
Demikianlah gambaran singkat perjalanan IPGI hingga menjadi
ADGI, kemudian dari ADGI menjadi Adgi dan akhirnya kembali menjadi ADGI. Sampai
uraian ini selesai ditulis, ADGI telah melaksanakan fungsi nasionalnya lewat
pemberdayaan chapters di seluruh Indonesia, yang saat ini terdiri dari
Adgi-Jakarta-chapter, Surabaya-chapter, Bali-chapter, Yogyakarta-chapter dan
Bandung-chapter (dalam pembentukan).
Ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional di
Indonesia
Pada tanggal 4 Juli 2009 diadakan konferensi pers IGDA
(Indonesian Graphic Design Award) 2009 di Galeri Foto Jurnalistik Antara,
Jakarta yang sekaligus menandai dimulainya ajang penghargaan desain grafis
pertama berskala nasional ini. IGDA diselenggarakan agar tercipta suatu standar
bagi kualitas desain grafis Indonesia, yang setiap tahunnya dinyatakan kepada publik
nasional dan internasional sehingga kelak eksistensi desain grafis Indonesia
bisa diperhitungkan dalam lingkup global.
Desain grafis Indonesia di jagat industri dunia
Pertumbuhan selalu berawal dari riak kecil, berhimpun
menjadi gelombang, dan gelombang lebih besar lagi yang akhirnya membentuk
desain grafis Indonesia seperti sekarang ini. Desainer grafis Indonesia kini
bisa dengan bangga menyatakan bahwa desain grafis Indonesia telah menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Hampir semua sektor membutuhkan sentuhan desainer
grafis. Pendidikan desain grafis pun berada di puncak pertumbuhan seperti yang
belum pernah dialami sebelumnya. Hingga sekarang sekitar 70an pendidikan tinggi
DKV telah dan segera berdiri di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang,
Yogyakarta, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Bali, Makassar dan menyusul di
beberapa kota lainnya. [7]
Desain grafis Indonesia kini juga telah memiliki dua media
cetak: Concept (2004) dan Versus (2008), serta forum maya DGI (Desain Grafis
Indonesia) pada alamat www.desaingrafisindonesia.co.cc (sekarang:
DGI-Indonesia.com) yang diluncurkan pada Maret 2007, juga Jurnal Grafisosial
(2007) di http://grafisosial.wordpress.com. Situs DGI adalah embrio dari Museum
(to be) DGI yang akan dibangun di Chandari, Ciganjur, Jakarta Selatan.
Stabilitas ekonomi yang terjaga paska krisis, telah
menumbuhkan jumlah perusahaan desain grafis di berbagai daerah. Di Jakarta saja
untuk menyebut beberapa di antaranya: Inkara Design (Danton Sihombing, Ilma
Noe’man), DesignLab (Divina Natalia), Whitespace Design (Irvan N Suryanto),
Kineto (Djoko Hartanto), Octovate (Bernhard Subiakto), Banana Inc. (Nico A
Pranoto), Jerry Aurum Design (Jerry Aurum), Mendiola Design Associates
(Mendiola B Wiryawan), Roundbox (Bima Shaw), Nubrain Design (Ato Hertianto),
Fresh Creative (Imelda Dewajani), AhmettSalina (Irwan Ahmett), Crayon Design
(Melvi Samodro), Halfnot Indesign (Heri Mulyadi), Thinking*Room (Eric Wijaya),
Lumiére (Ismiaji Cahyono), Paprieka (Eka Sofyan), Songo (Hastjarjo B Wibowo,
Hagung Sihag, Arif PSA), Neuborn (Vera Tarjono) dan masih banyak lagi.
Tidak sedikit pula desainer-desainer muda Indonesia berkarya
dan sukses di luar negeri: Henricus Kusbiantoro (Senior Art Director-Landor
Associates, San Francisco), Lucia C Dambies (Head Designer-Wharton Bradley
Mack, Newcastle), John Kudos (Principal-Studio Kudos, Chelsea), Melissa Sunjaya
(Principal-Bluelounge Design, Pasadena), Kalim Winata (Computer-Generated
Images Artist-ImageMovers Digital, San Francisco), Yolanda Santosa (Principal-Ferroconcrete,
Los Angeles) dan Bambang Widodo (Principal-BWDesign, New Jersey) adalah
beberapa di antaranya.
Uraian pendek ini saya tutup dengan mengutip puisi indah M
Arief Budiman ketika meluncurkan ADGI Yogyakarta Chapter pada 19 Juni 2008:
“Langkah besar itu telah dimulai dengan satu lilin kecil yang menyala
kedip-kedip dalam hembus angin malam. Tapi nyala lilin itu menular, terus
menular dan memenuhi kota. Merembet menembus batas-batas dan menerangi gelap
sebuah negara. Lalu menyeberang laut dan menerangi dunia kecil kita ini.“ [8]
Referensi :
Thanks link how to create design with coreldraw x7
BalasHapus